Bunda sering dibuat tak berkutik menghadapi anak tantrum? Terlebih ketika tantrum, si Kecil jadi sulit dibujuk hingga tak ragu menunjukkan berbagai perilaku agresif di depan umum.
Bunda tidak sendiri, kok! Ada jutaan orang tua lain di seluruh dunia yang juga mengalaminya. Yuk, baca terus artikel ini untuk mengetahui penyebab dan cara mengatasi anak tantrum dengan bijak.
Anak Tantrum, Normal atau Tidak?
Tantrum adalah ledakan emosi sangat kuat pada anak yang umumnya disertai dengan beberapa perilaku agresif, seperti tidur di lantai, meronta-ronta, berteriak, untuk mengekspresikan perasaan frustasi, marah, jengkel, sedih, atau tidak nyaman.
Walaupun tantrum pada anak merupakan perilaku yang tidak menyenangkan dan kerap membuat Bunda menghela nafas panjang, tapi tantrum adalah perilaku normal dan sifatnya tidak permanen.
Umumnya tantrum dialami oleh anak usia 1-3 tahun (batita), bertepatan dengan kemampuan berbahasa si Kecil yang baru mulai berkembang.
Keterbatasan bahasa untuk menjalin komunikasi dengan orang-orang di sekitarnya, terutama Ayah dan Bunda, kadang membuat si Kecil tidak bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan, inginkan, atau butuhkan dengan baik.
Alhasil, muncullah emosi meluap-luap yang belum bisa dikendalikan oleh si Kecil dan berujung pada tantrum.
Setiap anak juga memiliki frekuensi tantrum yang berbeda-beda. Namun, menurut buku Temper Tantrums, diperkirakan sekitar 20% batita tantrum setidaknya sekali dalam sehari dengan durasi 2-15 menit.
Apakah Tantrum Bisa Hilang?
Tantrum pada anak akan mulai hilang saat ia memasuki usia 4 tahun, seiring dengan kemampuan berkomunikasinya yang semakin baik. Di usia ini, ia dapat dengan lebih leluasa mengungkapkan apa yang diinginkan dan dirasakan.
Walaupun tantrum merupakan perilaku normal yang sifatnya tidak permanen, Bunda perlu memberikan penanganan yang tepat dan proporsional agar perilaku ini tidak berlanjut dan digunakan oleh anak sebagai cara untuk mendapatkan apa pun yang ia inginkan.
Baca Juga: 4 Perkembangan Emosi Anak Berdasarkan Usia
Apa Penyebab Tantrum pada Anak?
Penyebab utama tantrum pada anak adalah konflik yang terjadi di dalam dirinya sendiri, tapi ia belum memiliki kapasitas untuk menghadapinya.
Pada usia 1-3 tahun, anak umumnya sudah memiliki keinginan untuk lebih mandiri dan memiliki kontrol terhadap lingkungannya. Ia sudah memiliki ego “Aku bisa sendiri kok!” atau “Aku kepingin itu, berikan padaku!”.
Nah, ketika si Kecil menyadari bahwa ia belum bisa melakukan suatu hal tanpa bantuan orang lain atau ia tidak mendapatkan semua hal yang ia inginkan, ia belum bisa mengelola perasaan atau emosi yang muncul. Maka, terjadilah tantrum.
Selain itu, tantrum juga dipengaruhi oleh berbagai faktor pendukung lainnya, antara lain:
-
Kelelahan dan mengantuk, tapi tidak bisa istirahat. Hal ini akan mempersulit anak untuk tetap tenang.
-
Lapar, tantrum juga terkait dengan rasa lapar karena perut kosong membuat si Kecil stres.
-
Situasi yang meresahkan atau membuat tidak nyaman, misalkan berpisah dengan orang tua, bertengkar dengan saudara, hingga rebutan mainan dengan teman.
-
Menginginkan sesuatu. Tantrum bisa jadi cara yang dibuat-buat oleh anak-anak untuk membuat orang lain memenuhi keinginannya.
-
Ketakutan, misalkan karena berhadapan dengan hewan yang menakutkan baginya, melihat tontonan menyeramkan, atau bertemu dengan orang asing.
-
Perubahan situasi, seperti berada di ruangan yang tiba-tiba ramai dan berisik, tidak betah lama-lama di ruangan sempit, atau merasa kepanasan.
-
Pola asuh yang terlalu memanjakan. Apabila kemauan si Kecil selalu dipenuhi, ia akan menunjukkan amarah ketika sesekali waktu keinginannya tidak dituruti.
Baca Juga: Tips Jitu Kembangkan Karakter Positif Anak
Bagaimana Cara Mengatasi Tantrum pada Anak?
Anak dapat tantrum kapanpun dan dimanapun, tidak peduli ia sedang berada di rumah maupun tempat umum.
Dalam situasi seperti ini, orangtua sering kali panik hingga terpancing emosi karena takut si Kecil mengganggu kenyamanan orang lain.
Kunci utamanya adalah, Bunda jangan sampai ikut terbawa emosi. Sebab, melihat Bundanya yang panik hanya akan membuat anak makin takut dan tantrum semakin menjadi.
Lalu, bagaimana cara mengatasi anak tantrum tanpa emosi? Pertama-tama, tarik napas dalam terlebih dahulu dan buang secara perlahan. Lakukan beberapa kali hingga Bunda merasa lebih tenang. Selanjutnya, Bunda atau Ayah bisa melakukan beberapa cara berikut ini:
1. Bawa ke Tempat Sepi dan Aman
Apabila anak tantrum di tempat umum, segera bawa ia ke tempat yang lebih sepi dan aman seperti sudut ruangan, taman yang sepi, atau toilet.
Di tempat sepi, anak bisa mengeluarkan emosinya tanpa merasa terganggu dengan kehadiran banyak orang yang berlalu lalang. Bunda pun tak perlu takut orang lain merasa terganggu karena hal ini.
Sementara itu, tempat aman sangat dibutuhkan sebab bisa saja si Kecil mulai menggulingkan badan di lantai atau melempar barang yang bisa dijangkau saat tantrum.
Untuk menghindari cedera, pastikan Bunda mengajak si Kecil ke tempat dengan permukaan lantai yang rata dan halus juga jauhkan dari barang-barang berbahaya.
2. Biarkan Anak Meluapkan Emosinya
Menghadapi anak yang sedang tantrum tidak bisa buru-buru. Anak yang tantrum akan sulit ditenangkan dan hampir mustahil untuk diminta stop menangis, karena ia merasa perasaannya belum dimengerti dengan baik.
Meski Bunda mungkin juga merasa gusar dan sedih melihat si Kecil, biarkan dulu anak menangis untuk meluapkan emosinya. Namun, bukan berarti jadi mengacuhkannya, ya!
Pastikan si Kecil tahu bahwa fokus dan perhatian Bunda hanya tertuju kepadanya. Bunda dapat duduk di samping si Kecil hingga ia selesai menangis dan siap untuk diajak berkomunikasi.
Baca Juga: Tips Mempersiapkan Si Kecil Masuk Lingkungan Baru
3. Peluk Lembut Anak
Salah satu cara paling efektif untuk menenangkan anak yang sedang tantrum adalah dengan pelukan hangat dan belaian sayang. Ini bisa jadi cara berkomunikasi dengan anak untuk menunjukkan bahwa Bunda peduli memahami perasaannya.
Peluk anak sampai tangis dan teriakannya berhenti. Pelukan juga menjadi cara Bunda memberikan rasa aman pada si Kecil.
Sebaiknya, jangan mengatakan apapun selama mendekap si Kecil. Cukup elus lembut punggungnya agar emosinya mereda.
4. Cari Tahu Penyebab Tantrum
Untuk membantu menguraikan emosi si Kecil yang meluap-luap, Bunda perlu mencari tahu terlebih dahulu apa yang membuat ia tantrum.
Apakah anak terlalu lelah, tapi tidak bisa beristirahat? Atau anak menginginkan robot keren yang tadi dilihat saat melewati toko mainan?
Untuk mengetahui penyebab tantrum si Kecil, Bunda perlu mengajak si Kecil berkomunikasi selepas emosinya mereda.
Bunda dapat bertanya dulu dengan intonasi dan suara yang lembut, “Adik sudah selesai belum menangisnya?”
Jika ia menggelengkan kepala sebagai isyarat ia masih ingin menangis untuk meluapkan emosinya, tunggu hingga selesai. Begitu ia berhenti menangis dan lebih tenang, Bunda dapat menanyakan penyebab ia merasa frustasi. “Adik mengantuk?” atau “Adik kesal tidak Ibu belikan mainan?”
Setelah berhasil menanyakan, si Kecil mungkin akan menganggukkan atau menggelengkan kepalanya. Nah, ketika penyebab tantrum pada anak sudah diketahui, Bunda akan lebih mudah dalam mengatasinya.
Bila ia meminta sesuatu yang kurang baik, jelaskan mengapa hal tersebut dilarang. Lalu, tawarkan hal atau kegiatan lain untuk menggantikannya.
5. Validasi Perasaan Anak
Ketika anak sudah tenang dan bisa diajak berkomunikasi, Bunda dapat mengajak anak untuk ngobrol. Sampaikan bahwa Bunda memahami rasa kesal atau frustasi si Kecil diikuti dengan penjelasan kenapa ia tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan.
Jangan lupa untuk menggunakan intonasi yang lembut dan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh si Kecil, contohnya:
“Bunda tahu adik kesal dan sedih sekali karena tidak boleh beli mainan. Padahal itu kartun kesukaan adik. Tapi ingat kan, tadi dari rumah adik sudah janji ikut Bunda ke toko untuk beli susu saja. Adik juga sudah tahu kan, adik boleh beli mainan baru kalau tabungan ayamnya sudah penuh?”
Baca Juga: Cara Membangun Kecerdasan Emosional Anak agar Tak Mudah Tantrum
6. Berikan Anak Kesempatan untuk Memilih
Selain memberikan validasi pada perasaan si Kecil dan memberikan penjelasan kenapa ia tidak diizinkan atau tidak bisa melakukan suatu hal. Bunda dapat memberikan anak kesempatan untuk memilih agar ia memiliki rasa memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri.
Contohnya ketika si Kecil tidak boleh membeli mainan yang diinginkan, Bunda dapat memberikan pilihan padanya untuk membeli benda lain yang memang sedang dibutuhkan atau masih terjangkau harganya. “Adik kan suka jus buah, ayo kita beli jus buah. Adik mau jus mangga atau alpukat?”
Saat memberikan pilihan pada si Kecil, pastikan pilihan tersebut memiliki batasan yang jelas dan tidak akan melebar pada hal yang tidak boleh dilakukan atau didapatkan si Kecil.
7. Alihkan Perhatian si Kecil
Ketika si Kecil tantrum karena keinginannya tidak terpenuhi, Bunda dapat mengalihkan perhatian si Kecil pada hal lain yang sekiranya dapat menjadi pengganti hal yang tidak bisa ia lakukan atau miliki.
Contohnya, saat si Kecil tantrum karena tidak boleh melempar bola kasti karena dapat memantul dan mencederai dirinya sendiri maupun orang lain disekitarnya, Bunda dapat menawarkan aktivitas lain yang tidak kalah seru seperti meniup dan menangkap gelembung sabun.
Setelah itu, Bunda dapat memuji si Kecil karena ia bisa bermain bersama teman-teman lain yang ada di sekitarnya dengan meniup gelembung sabun dan menangkap gelembung sabun bersama-sama daripada melempar bola kasti yang dapat menyakiti orang lain.
8. Hindari Berteriak atau Membentak Si Kecil
Menghadapi anak tantrum memang sangat menguji kesabaran, ya, Bun? Walau begitu, usahakan tidak terpancing emosi hingga ikut berteriak atau membentak anak, ya.
Selain membuat Bunda menjadi pusat perhatian banyak orang, meneriaki si Kecil hanya akan membuatnya semakin agresif dan meniru perilaku tersebut ke di kemudian hari.
9. Mengabaikan si Kecil
Cara mengatasi anak tantrum berikutnya adalah dengan mengabaikan si Kecil. Namun, mengabaikan bukan berarti benar-benar meninggalkan si Kecil begitu saja saat ia tantrum ya, Bun.
Mengabaikan disini berarti Bunda tidak memberikan perhatian pada perilaku tantrum anak sehingga ia tahu sikapnya tidak diharapkan.
Jadi, saat si Kecil berteriak, berguling di lantai, menghentak-hentakkan kakinya, usahakan Bunda tetap berada di tempat yang sama untuk mengawasi dan menjaga si Kecil tetap aman namun hindari membuat kontak mata, mengomentari perilaku anak, atau memberikan reaksi lain ketika ia tantrum.
Dengan secara konsisten mengabaikan tantrum anak, di masa depan ia cenderung tidak akan melakukan tantrum untuk meluapkan emosi atau berusaha mendapatkan yang ia inginkan.
Baru setelah si Kecil tenang, Bunda dapat mendekati si Kecil untuk memberikan pelukan dan mengajaknya bicara dari hati-ke-hati.
10. Bersikap Tegas dan Konsisten
Emosi anak bisa dengan mudah membuncah saat ia menginginkan sesuatu, seperti dibelikan mainan atau berlama-lama di playground. Akhirnya, tantrum pun menjadi ‘trik’ agar keinginan tersebut dipenuhi.
Dalam hal ini, orang tua perlu bersikap tegas dan konsisten sehingga si Kecil paham kalau yang dilakukannya ini tidak baik. Sebisa mungkin jangan ‘mengalah’ saat menghadapi anak tantrum ya, Bun.
Memberikan apa yang ia inginkan saat anak tantrum hanya akan membuat si Kecil beranggapan bahwa perilakunya ini benar. Maka nantinya setiap menginginkan sesuatu, tantrum dijadikan si Kecil kebiasaan agar keinginannya dipenuhi.
Demikian ulasan mengenai cara mengatasi anak tantrum yang dapat disampaikan. Kesimpulannya, Bunda tak perlu khawatir lagi jika anak tantrum.
Mengingat kondisi ini normal terjadi pada si Kecil semasa balita. Hadapi dengan penuh kasih sayang, karena memarahinya hanya akan membuat anak semakin agresif dan merasa terabaikan, sehingga tantrum pun tak kunjung reda.
Semoga artikel ini bermanfaat buat Bunda yang sedang terus belajar sabar menghadapi tantrum pada anak.
Jika masih punya pertanyaan seputar cara pengasuhan, keluhan medis, dan tips-tips optimalkan tumbuh kembang anak, yuk hubungi Sahabat Bunda Generasi Maju sekarang juga!
Referensi tambahan:
-
Ignoring. (2023). https://www.cdc.gov/parents/essentials/toddlersandpreschoolers/consequences/ignoring.html